-->

Monday, April 17, 2017

Hukum Shalat dengan pakaian panjang melebihi mata kaki

Kita tahu bahwa isbal itu berarti menjulurkan celana di bawah mata kaki. Apakah jika ada yang shalat dalam keadaan seperti ini, shalatnya sah? Ataukah ia berdosa, namun shalatnya sah?

Kita tahu bahwa isbal itu berarti menjulurkan celana di bawah mata kaki. Apakah jika ada yang shalat dalam keadaan seperti ini, shalatnya sah? Ataukah ia berdosa, namun shalatnya sah?

Kita tahu bahwa orang yang menjulurkan celananya dengan sombong atau pun tidak di bawah mata kaki, maka ia terkena ancaman yang disebutkan dalam hadits dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِى النَّارِ

“Kain yang berada di bawah mata kaki itu berada di neraka.” (HR. Bukhari no. 5787)

Bagaimana hukum menjulurkan celana atau kain sarung di bawah mata kaki saat shalat?

Ada hadits yang dibawakan oleh Imam Nawawi dalam Riyadhus Sholihin tentang masalah isbal.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ بَيْنَمَا رَجُلٌ يُصَلِّى مُسْبِلاً إِزَارَهُ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « اذْهَبْ فَتَوَضَّأْ ». فَذَهَبَ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ ثُمَّ قَالَ « اذْهَبْ فَتَوَضَّأْ ». فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لَكَ أَمَرْتَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ ثُمَّ سَكَتَّ عَنْهُ قَالَ « إِنَّهُ كَانَ يُصَلِّى وَهُوَ مُسْبِلٌ إِزَارَهُ وَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبَلُ صَلاَةَ رَجُلٍ مُسْبِلٍ ».

Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Ada seseorang yang shalat dalam keadaan isbal - celananya menjulur di bawah mata kaki-. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata padanya, “Pergilah dan kembalilah berwudhu.” Lalu ia pergi dan berwudhu 
kemudian ia datang kembali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih berkata, “Pergilah dan kembalilah berwudhu.” Kemudian ada yang berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau memerintahkan padanya untuk berwudhu, lantas engkau diam darinya?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Ia shalat dalam keadaan isbal -menjulurkan celana di bawah mata kaki-, padahal Allah tidak menerima shalat dari orang yang isbal.” (HR. Abu Daud no. 4086.).
Takhrij Hadits

Imam Nawawi berkata bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim.

Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits di atas hasan.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz mengkritik pernyataan Imam Nawawi di atas, ia berkata, “Ini adalah kesalahpahaman dari Imam Nawawi rahimahullah. Sanad hadits tersebut bukanlah sesuai syarat Muslim. Bahkan hadits tersebut sebenarnya dhoif dengan dua alasan:

1- Hadits tersebut dari riwayat Abu Ja’far, ia adalah perowi yang majhul (tidak jelas).
2- Hadits ini juga dari riwayat Yahya bin Abi Katsir, dari Abu Ja’far dengan periwayatan ‘an’anah. Seorang perowi mudallis jika ia tidak menegaskan bahwa ia mendengar langsung, maka haditsnya tidak bisa dipakai kecuali terdapat dalam Shahihain (Bukhari dan Muslim). (Fatawa Ibnu Baz, 26: 235-237)

Syaikh Al Albani rahimahullah dalam takhrij Riyadhus Sholihin juga menyatakan hadits ini dhoif.

Murid Syaikh Al Albani, Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali dalam Bahjatun Nazhirin (2: 83) mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud (638, 4086) dari jalur Thoriq Abu Ja’far, dari ‘Atho’ bin Yasar. Beliau mengatakan bahwa Abu Ja’far tidaklah dikenal, sehingga sanad hadits ini dhoif. Ada dalil yang semakna dari Ibnu Mas’ud di mana diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad yang shahih, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَسْبَلَ إِزَارَهُ فِى صَلاَتِهِ خُيَلاَءَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِى حِلٍّ وَلاَ حَرَامٍ

“Siapa yang shalat dalam keadaan isbal disertai kesombongan, maka Allah tidak memberikan jaminan halal dan haram untuknya.” (HR. Abu Daud no. 637, shahih kata Syaikh Salim)

Shalat dalam Keadaan Isbal

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Seandainya hadits tersebut shahih, maka maknanya adalah ancaman yang keras bagi pelaku isbal di dalam shalat. Hadits yang disebutkan di atas berisi peringatan bagi pelaku isbal. Adapun shalatnya tetap sah. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan padanya untuk mengulangi shalat, yang diperintah hanyalah mengulangi wudhu. Penafian dalam diterimanya shalat bukan berarti shalat tersebut jadi batal seluruhnya. Karena dalam hadits lain disebutkan, “Siapa saja yang mendatangi tukang ramal lalu ia bertanya ramalan sesuatu, maka shalatnya selama 40 hari tidak diterima.” Sebagaimana hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya.

Imam Nawawi pun telah menukil adanya ijma’ (konsensus ulama) bahwa shalat orang yang isbal tadi tidak perlu diulangi. Cuma orang yang shalat seperti itu terkena ancaman dan peringatan. Juga terdapat pandangan dari berbagai hadits yang lain yang menunjukkan bahwa tidak diterima shalat dalam hadits yang membicarakan isbal tidaklah menunjukkan batalnya shalat. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak memerintahkan mengulangi shalat. Begitu pula dalam hadits Ibnu Mas’ud tidak menunjukkan shalatnya diulangi.

Jadi, maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengulangi wudhu cuma sebagai peringatan. Dan wudhu juga dapat meringankan dosa. Nah itu jika dianggap hadits tersebut shahih.” (Fatawa Ibnu Baz, 26: 235-237)

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin berkata, “Shalat orang yang isbal itu sah, akan tetapi ia berdosa. Begitu pula seseorang yang memakai pakaian yang haram seperti baju hasil curian, baju yang terdapat gambar makhluk bernyawa, baju yang terdapat simbol salib atau terdapat gambar hewan. Semua baju seperti itu terlarang saat shalat dan di luar shalat. Shalat dalam keadaan isbal tetap sah, akan tetapi berdosa karena mengenakan pakaian seperti itu. Inilah pendapat terkuat dalam masalah ini. Karena larangan berpakaian isbal bukan khusus untuk shalat. Mengenakan pakaian haram berlaku seperti itu saat shalat dan di luar shalat. Dikarenakan tidak khusus untuk shalat, maka shalat tersebut tidaklah batal. Inilah kaedah yang benar yang dianut oleh jumhur atau mayoritas ulama.” (Syarh Riyadhus Sholihin, 4: 300-301).

Semoga Allah memberikan kepahaman. Hanya Allah yang memberi taufik.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Sumber : Muslim.Or.Id
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post